Oleh : Fenny Rahma Sari Mahasiswi Jurusan Hukum, Universitas Bangka Belitung
Menurut UU Perkawinan pasal 1 definisi perkawinan mencakup ikatan lahir batin, seorang pria dan wanita sebagai suami isitri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan adalah ketika seorang laki-laki dan perempuan memiliki ikatan lahir batin dan sah untuk berkomitmen hidup berumah tangga bersama-sama yang akan melahirkan hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri.
Pernikahan adalah sesuatu yang amat sakral, yang mana dalam pernikahan itu sendiri ada hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang sah dan terikat lahir batin yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang harmonis dan bahagia.
Dalam agama islam menikah merupakan salah satu dari ibadah yang mana jika menikah akan membentuk rumah tangga yang keluarga sakinah, mawaddah dan war Rahman. Untuk itu antara suami dan juga istri harus saling komunikasi, membantu, menghormati, melengkapi, memahami, mencintai satu sama lain untuk dapat bertahan dalam jangka panjang. Dan tidak lupa juga dengan hak-hak dan kewajibannya dalam berumah tangga.
Namun didalam pernikahan juga tidak selalu hanya tentang rumah tangga yang harmonis. Pasti ada banyak sekali tantangan dan lika-liku dalam rumah tangga. Setiap pasangan memiliki kondisi rumah tangga yang berbeda, yang mana ada ketidakcocokan antara pasangan yang menjadi ketidakharmonisan. Bila ketidakharmonisan itu tidak dapat diselesaikan melalui komunikasi yang efektif.
Dalam situasi sulit ini, sangatlah penting bagi pasangan untuk secara aktif mencari bantuan profesional, seperti konseling pernikahan, agar dapat mengatasi konflik secara efektif dan menentukan penyelesaian yang paling sesuai bagi kedua belah pihak yang terlibat, baik itu dengan memperbaiki hubungan mereka atau memilih untuk berpisah secara damai.
Perceraian berarti bahwa hubungan suami istri berakhir dan keduanya tidak lagi hidup bersama dalam rumah tangga sesuai dengan hukum perkawinan. Yang mana hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 UU Perkawinan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan saat di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan kemudian dalam Pasal 39 ayat 2 UU Perkawinan diatur bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa diantara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Bagi orang Islam, gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Agama, sedangkan bagi orang non-Islam, diajukan ke Pengadilan Negeri.
Pada proses ini khususnya bagi orang islam, hukum acara peradilan agama berfungsi sebagai pedoman untuk penyelesaian konflik dengan memastikan bahwa semua tindakan yang diambil sesuai dengan ajaran dan prinsip-prinsip agama. Pertimbangan nilai-nilai agama dan hukum secara simultan sangat penting ketika menangani kasus perceraian.
Meskipun tujuan utamanya adalah penyelesaian konflik, upaya ini menghadapi banyak kendala, baik aspek emosional maupun hukum. Kendala-kendala ini mencakup perbedaan penafsiran doktrin agama, perbedaan pendapat mengenai aset bersama, dan kesenjangan kekuasaan yang melekat di antara para pihak. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan untuk menggabungkan pendekatan teoritis dan praktis dalam hukum acara peradilan agama untuk mencapai keadilan yang komprehensif dan abadi bagi semua individu yang terlibat. Dalam proses penyelesaian perceraian, hal-hal seperti hak asuh anak, nafkah, dan pembagian harta bersama menjadi perhatian utama.
Selain itu, dasar penting untuk memahami prosedur hukum yang berlaku dalam pengadilan agama adalah pendekatan teoritis dan praktis dalam hukum acara peradilan agama.
Pendekatan ini secara teoritis mencakup pemahaman tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang menjadi dasar bagi proses peradilan agama; secara praktis, pendekatan ini mencakup penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam penyelesaian kasus tertentu di pengadilan agama. Untuk menjamin keadilan dan keberhasilan penegakan hukum di ranah peradilan agama, kedua metode ini bekerja sama dengan baik.