Catatan merah Pemilu 2019 telah mengajarkan kita pengalaman berharga, persoalan pemilu pun beragam mulai dari persoalan teknis mencakup distribusi logistik, proses pendataan pemilih, hingga beban kerja petugas TPS, ditambah lagi persoalan regulasi yang masih multi tafsir
Oleh : Hendri Yusiman S.IP
Pemerhati Masalah Sosial
Salah satu fungsi dari pemilu langsung merupakan sarana pengambilan keputusan bersama dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, sehingga secara otomatis pemimpin yang terpilih akan menghendaki kepentingan rakyatnya, tentunya berdasarkan periode tertentu, peristiwa ini bisa dikatakan sebagai sebuah kontrak politik antara pemilih dan dipilih.
Tahun 2024, menjadi salah satu momen penting dalam kancah perpolitikan Indonesia, dalam satu tahun terdapat dua agenda penting yang harus diselesaikan oleh KPU, yaitu pemilu presiden, DPR, DPRD dan DPD dan telah ditetapkan pada tanggal 14 Februari, sedangkan pemilihan Gubernur Walikota/bupati pada 27 November.
Selang waktu 9 bulan masyarakat kembali berbondong-bondong mendatangi TPS lagi untuk mencoblos kepala daerah. Catatan merah pemilu 2019 telah mengajarkan kita pengalaman berharga, persoalan pemilu pun beragam mulai dari persoalan teknis mencakup distribusi logistik, proses pendataan pemilih, hingga beban kerja petugas TPS, ditambah lagi persoalan regulasi yang masih multi tafsir.
Berdasarkan peraturan KPU No 15 Tahun 2018, terdapat prinsip yang sangat penting Mengenai jumlah, jenis, sasaran, waktu, kualitas ini harus dilakukan secara tepat dan efisien. Terkadang permasalahan teknis masih sering terjadi, misalnya kekurangan dan kerusakan kertas suara sering kita jumpai. Apalagi jenis beragamnya logistik yang digunakan pada saat pencoblosan mulai dari formulir, alat mencoblos, alat tulis, gudang penyimpanan logistik hingga tenda.
Begitu pula proses pendataan pemilih yg cenderung asal asalan, sehingga banyak masyarakat yg tidak memperoleh formulir C1, dan pada akhirnya mencoblos menggunakan KTP, sedangkan kertas suara yang ada masih kekurangan apalagi basis cadangan hanya 2 persen. Sehingga ketika pencoblosan pemilih harus mondar mandir mencari TPS yang memiliki kertas suara yang lebih demi untuk memilih.
Begitu juga dengan dengan masalah gudang penyimpanan logistik yang belum maksimal terutama pada tingkat kecamatan yg belum representatif, apalagi dengan bertambahnya TPS.
Berdasarkan laporan Harian kompas.com edisi 22 Januari 2020, Sebanyak 894 Petugas KPPS meninggal Dunia dan 5.175 mengalami sakit pada pemilu 2019. Ini sungguh sangat mengkhawatirkan dibalik kesuksesan Pemilu 2019 terselip kedukaan yang mendalam, pengalaman ini akan menjadi potret buram perjalanan demokrasi Indonesia.
Akibat dari tekanan deadline dan beban kerja sehingga para penyelenggara pemilu di lapangan mengalami penurunan kondisi fisik, apalagi sering kita lihat masih banyaknya petugas pemilu di lapangan sudah memasuki usia pensiun.
Kita paham bahwa petugas KPPS sebelum hari pencoblosan biasanya sudah mulai melakukan inventarisir logistik bahkan membangun lokasi pencoblosan, ini tentunya akan mempengaruhi kinerja KPPS ketika melakukan melakukan tahapan pemungutan, perhitungan dan rekapitulasi suara, sehingga mengalami kelelahan, sakit bahkan meninggal dunia.
Untuk mengatasi problematika Pemilu yang kiat semrawut maka perlu adanya regulasi turunan dari KPUD dalam mengatasi persoalan tersebut, baik persoalan teknis, pelanggaran pemilu maupun regulasi. Tentunya, pembuatan regulasi harus bersinergi dengan stakeholder KPU itu sendiri.
Begitu pula dengan petugas TPS, setidaknya KPU harus menyeleksi dan membatasi usia. Sudah saatnya KPU maupun KPUD menginventarisir permasalahan yang muncul ketika menjelang Pemilu, apalagi tahapan pemilu kali ini saling beririsan dengan ditambah lagi persoalan krisis kesehatan yang belum mereda. Dengan mengemas dan menginventarisir permasalahan menjelang Pemilu, diharapkan dapat menghasilkan pemilu yang betul betul menjadi pesta rakyat, dan tentunya berintegritas.