Dato’ Akhmad Elvian : Kampoeng Bintang (Nai Si Puk) Dulunya lokasi Parit Penambangan Timah

PANGKALPINANG — Sejarahwan dan Budayawan Bangka Belitung, Akhmad Elvian menceritakan, kawasan Kampoeng Bintang di Kota Pangkalpinang pada awal sejarah berdirinya merupakan lokasi parit penambangan timah.

“Kota Pangkalpinang menjadi salah satu distrik penambangan timah, yang keterkaitan dan berhubungan dengan para pendatang dari Cina atau Tionghoa yang menambang timah. Umumnya bekas tambang timah yang dibuka oleh penambang dari Cina memiliki dua nama disamping ada nama geografi berdasarkan bahasa hakka dan bahasa melayu atau pribumi,” ujarnya.

Sebagai daerah distrik penambangan timah, Elvian menjelaskan, banyak sekali wilayah geografis di Kota Pangkalpinang yang merupakan bekas penambangan timah kemudian menjadi tempat tinggal warga keturunan Tionghoa.

“Pada masa itu teknologi yang dibawa orang Tionghoa saat menambang timah itu namanya teknologi kulit. Untuk mendapatkan timah dengan deposit yang besar, mereka harus mengkuliti lapisan tanah dalam wilayah yang luas, dalam kurun waktu yang lama sekitar 7 bulan ke atas baru kawasan tambang itu bisa berproduksi. Jadi mereka harus tinggal dikawasan itu untuk membuat rumah kongsi atau bedeng, maka lama kelamaan menjadi kampung,” sebutnya.

Kemudian, pada kawasan ini, terdapat kolong atau parit bekas penambangan timah yang disebut masyarakat Kolong Bintang.

Elvian menyebutkan, proses penambangan timah yang memisahkan antara tanah galian dengan pasir timah menghasilkan lumpur tanah liat, yang oleh orang Bangka dikenal dengan sebutan tai parit atau dalam bahasa lainnya oleh orang Bangka disebut tailing.

“Karena banyaknya tailing yang menumpuk dan umumnya pekerja parit penambangan timah adalah orang Cina dan mereka tinggal di lokasi tai parit, maka kawasan tailing yang menumpuk dijadikan pemukiman, yang mereka sebut dengan nama Nai Si Puk,” jelasnya.

Ia menuturkan, nama-nama kampung pemukiman awal masyarakat Kota Pangkalpinang memang umumnya dinamakan dengan nama menggunakan bahasa Cina dialek Hakka dan berkaitan erat dengan sejarah penambangan timah, seperti penamaan Sung Sa Thi (Kampung Pasir Putih), Yung Fo Hin (Kampung Semabung), Thiat Phu (Kampung Besi), Parit Baciang (Kampung Bacang), Si Luk (Kampung Parit 46), Parit Lalang, dan sebagainya.

Sebutan-sebutan menggunakan bahasa Cina dialek Hakka tersebut masih melekat dan masih digunakan oleh sebagian masyarakat Pangkalpinang atau orang Bangka hingga saat ini.

“Orang-orang Bangka khususnya orang Pangkalpinang kemudian menamakan kawasan Nai Si Puk yang pada waktu itu banyak berkibar bendera bergambar Bintang dengan sebutan Kampung Bintang,” ungkapnya.

Lanjutnya, kawasan Nai Si Puk atau kawasan Kampoeng Bintang awalnya berbatasan sebelah Utara dengan jalan ke sekolah HCS (Hollandsch Chineesche school sekarang SMP Negeri 1 Pangkalpinang berdiri sejak tahun 1917 Masehi).

Sedangkan, sebelah Barat berbatasan dengan kawasan Kampung Paritlalang, sebelah Timur berbatasan dengan Kawasan Kampung Gudang Padi dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Betur.

Elvian menceritakan, masyarakat yang bermukim pertama kali di suatu wilayah tentunya memberi nama pada unsur-unsur geografi di lingkungannya.

“Tiap nama unsur geografi di Indonesia biasanya terdiri atas dua bagian kata yaitu nama generik, merupakan sebutan untuk unsur kata pertama tersebut dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal/etnis. Misalnya nama generik “pengkal atau pangkal” serta nama spesifik atau nama diri dari unsur tersebut seperti “Pinang” (areca chatecu), yang dalam bahasa Mandarin disebut Pinlang atau Pinkong dalam dialek Hakka yang kemudian disatukan menjadi asal nama tempat (place name) Pangkalpinang,” sebutnya.

Elvian menambahkan, nama geografi juga diberikan berdasarkan potensi yang ada di lingkungannya dari sudut pandang filosofi, sejarah, budaya, tatanan sosial, ataupun vegetasi dan hewan dengan kata lain, nama-nama unsur geografi bukan hanya sekedar nama, tetapi di belakang nama tersebut adalah sejarah yang panjang dari pemukiman manusia.

Elvian mengungkapkan, pada Tahun 1917 Masehi Pemerintah Hindia Belanda mendirikan HCS (Hollands-Chinese School) di Ibukota Keresidenan Bangka, Pangkalpinang. Gedung HCS (Hollands-Chinese School) sekarang digunakan sebagai gedung SMP Negeri 1 Pangkalpinang.

Bangunan lembaga pendidikan HCS terletak di Jalan Garuda Pangkalpinang karena pada sisi Timur sekolah, terdapat Bioskop Garuda (Tahun 1919 Masehi) bersebelahan dengan Bioskop Surja atau Aurora (Tahun 1920 Masehi) dan restoran Kutub Utara (noordpool) yang dikelola oleh NV MEBY (Maatschappij tot Exploitatie van Bioscopen en Ys fabrieken) (berdiri Tahun 1924 Masehi), serta kawasan pasar Mambo.

Selanjutnya, Jalan Garuda kemudian pada masa setelah kemerdekaan diubah namanya menjadi Jalan Mayor H. Muhidin. Setelah masa kemerdekaan sekolah ini dikembangkan menjadi sekolah pemerintah Republik Indonesia dan beberapa Kepala Sekolah yang pernah menjabat di sekolah ini adalah, Ong Soei Tjoen, Jap Koen Koei, Tjan Hok Soen.

“Lokasi pembangunan HCS (Hollands-Chinese School) sangat strategis karena terletak di tengah dan diantara beberapa perkampungan serta dijadikan sebagai pemisah atau pembatas semacam buffer policy antara kampung orang Cina Bangka dan kampung orang Melayu Bangka dalam konteks devide et impera atau politik adu domba dari pemerintah Kolonial Belanda,” jelasnya.

Tak hanya itu, pada sisi sebelah Utara sekolah terdapat kampung Tengah dan kampung Dalam, pada sisi Selatan sekolah terdapat kampung Bintang atau Naisifuk dan kampung Besi atau Thiatphu, sedangkan pada sisi sebelah Barat sekolah terdapat kampung kerkhof karena terdapat pekuburan umum.

Menurut Elvian, terkait dengan keberadaan rencana kawasan China Town, hampir separuh wilayah Kota Pangkalpinang banyak terdapat Kampung Cina.

“Kalau pemkot kemudian ingin membuat kawasan China Town yang pas itu sebetulnya Kampung Cina, memang penamaan menunjukkan bahwa kampung itu didirikan oleh penambang timah,” ungkapnya.

SUMBER: Kampoeng di Bangka, jilid 1, Drs. Akhmad Elvian

Leave A Reply

Your email address will not be published.