Menelisik PKPU Tentang Penetapan Calon Terpilih Meraih Suara Sama, Ini Tanggapan Akademisi Hukum Tata Negara UBB
PANGKALPINANG — Penetapan calon terpilih pada Pemilu 2024 kini tinggal menghitung hari pasca pelaksanaan pemungutan suara usai dilakukan pada 14 Februari lalu. Demikian pula tata cara penetapan calon terpilih pada pemilihan legislatif (Pileg) inipun telah tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 PKPU Nomor 6 Tahun 2024, penetapan calon terpilih anggota DPR didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik (Parpol) di suatu Dapil (Daerah Pemilihan) ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR di satu Dapil yang tercantum pada surat suara.
Lantas, bagaimana ketentuan jika ada calon terpilih memperoleh suara sah yang sama dalam Pileg 2024?
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB), Rahmat Robuwan, SH, MH, memberikan tanggapannya soal penetapan calon terpilih pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2024, tepatnya pada ketentuan di Pasal 29.
Begitu pula dijabarkan soal kajiannya terkait tingkatkan sebaran wilayah yang termaktub dalam ayat (1) tentang persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang pada PKPU di Pasal 29.
Sebagaimana dimaksud pada PKPU Nomor 6 Pasal 29, disebutkan ayat (1) dalam hal terdapat dua orang atau lebih calon anggota DPR memperoleh suara sah pada Dapil yang bersangkutan dengan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang ditetapkan sebagai calon terpilih.
Rahmat dalam kajiannya soal perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang pada ayat satu (1), bahwa frase itu berlaku mutatis mutandis. Mengacu pada ketentuan itu, lanjut dia, maka berlaku pada tingkatan lembaga perwakilan rakyat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Dosen Fakultas Hukum UBB ini pun membenarkan, perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang untuk DPR RI yang dimaksud dilihat pada sebaran pada Kabupaten/Kota yang persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Kemudian dilanjutkan pada tingkat DPRD provinsi yang jenjang sebarannya dilihat per kecamatan, sedangkan DPRD Kabupaten/Kota ditentukan berdasarkan kelurahan atau desa yang persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. .
Rahmat menjelaskan lantas kenapa TPS tidak bisa dijadikan patokan dan dinyatakannya tidak relevan. Ia menafsirkan pada realitas yang kerap terjadi, misalnya A adalah daftar pemilih tetap (DPT) yang keberadaan rumahnya dekat TPS 01, akan tetapi si A malah terdaftar di TPS 06 untuk menyalurkan hak pilihannya meski di dalam satu kelurahan.
“Logikanya begini, banyak atau ada orang atau pemilih yang keberadaan TPS nya berada di dekat rumahnya, tapi banyak juga DPT itu menyalurkan hak suaranya di TPS yang jauh dari rumahnya. Ini belum tentu ia terdaftar di TPS yang berada di dekat rumahnya meski dalam satu kelurahan,” ungkap dia.
Dalamnya kajiannya itu, maka ia menilai tak relevan apabila TPS dijadikan sebuah patokan karena demikian.
“Jadi jika menggunakan TPS tidak bisa dijadikan patokan. Ini banyak kejadiannya. Makanya tidak bisa dijadikan patokan, persebaran suaranya tidak mendukung. Itu menurut logikanya,” kata Rahmat, ditanya soal kenapa sebarannya bukan dilihat per TPS.
Di bagian BAB IX atau ketentuan penutup PKPU 6/2024 itu, menyatakan juga bahwa PKPU Nomor 5 Tahun 2019 dan PKPU Nomor 29 Tahun 2013 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 85) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (***)