Implementasi Hukum dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Pangkalpinang : Perspektif Sosiologi Hukum

Oleh : Dea Tamara, Mahasiswi Prodi Sosiologi Universitas Bangka Belitung

KETIKAN OPINI — Permasalahan sosial yang ada di Indonesia kini semakin kompleks. Masih tingginya penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) mendorong pemerintah indonesia untuk mencari solusi yang tepat dalam upaya mengatasinya. Salah satunya permasalahan sosial yang dihadapi yakni anak jalanan yang semakin meningkat tiap tahunnya di kota-kota besar.

Terlebih selama 3 tahun terakhir fenomena sosial ini semakin bertambah di kota Pangkal Pinang. Anjal atau sering disebut anak jalanan merupakan istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang memiliki kegiatan ekonomi di jalanan.

Anak jalanan adalah anak usia (5-18 tahun) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan yang karena alasan tertentu tidak dapat sekolah secara efektif, namun mereka harus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Bangka Belitung tahun 2020, menyebutkan pekerja usia anak 0-18 tahun berjumlah 317 orang.

Namun untuk data anak jalanan di Bangka Belitung masih belum ada data karena seperti yang kita ketahui anak jalanan cenderung berpindah-pindah sehingga data akurat tentang populasi anak jalanan, sulit dipastikan jumlahnya. Ketidak akuratan ini akhirnya berakibatnya terhadap upaya penanganan yang ada. Terlepas dari pendataan anak jalanan, bagaimana pun mereka tetap menjadi sumber permasalahan sosial yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, penanganan anak jalanan harus diatasi sehingga tidak berkeliaran dijalan-jalan yang menganggu ketertiban lalu lintas dan mengancam keselamatannya.

Persoalan mengenai anak jalanan pada hakikatnya tidak hanya berbicara mengenai hak anak untuk memperoleh jaminan kelangsungan hidup tetapi juga hak untuk berpartisipasi dalam meningkatkan kapasitasnya, hak untuk tumbuh dan berkembang, serta hak untuk memperoleh pelindungan dari segala bentuk penyiksaan, pengabaian serta eksploitasi terhadap anak jalanan.

Banyak anak seharusnya menikmati pendidikan dan masa tumbuh kembang dengan penuh kemerdekaan malah menjadi anak jalanan. Berdasarkan Perda No. 7 tahun 2015 tentang penanganan gelandangan dan pengemis dan Anak Jalanan. Apabila dicermati undang-undang ini sebenarnya berisi muatan-muatan yang bisa menjadi perlindungan bagi anak jalanan dan pula sanksi-sanksinya.

Namun, bagaimanakah efektifitas pemberlakuan undang-undang ini dilapangan masih menjadi tanda tanya besar. Gambaran pada realitasnya menunjukkan bahwa anak jalanan di Pangkalpinang semakin meningkat. Hal ini terlihat di jalan lampu merah dan tempat lainnya keberadaan anak jalanan semakin meluas. Dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup tinggi serta belum ada komitmen dan konsistensi oleh lembaga terkait.

Lalu, apa saja upaya pemerintah setempat dalam menanganinya, sejauh ini lembaga terkait baru melakukan kegiatan sosialisasi dengan memasang himbauan kepada masyarakat agar tidak memberi uang kepada anak jalanan dan mengimbau orang tua untuk mengutamakan sekolah pada anak, patroli setiap dua kali dalam sebulan dan bagi anak yang terjaring kemudian akan dibawa ke Rumah Perlindungan Sosial (RPS) untuk diberikan pembinaan dan pelatihan serta pengembalian anak jalanan kepada orang tua masing-masing. Tetapi penanganan dan pemberdayaan yang dilakukan belum berhasil dalam memberantas anak jalanan di Pangkalpinang.

Dalam diskusi ini, saya menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang harus dipahami secara mendalam sebelum memberikan tawaran alternative terhadap anak jalanan agar dapat meninggalkan pekerjaannya yang membahayakan moral dan jiwanya. Terlebih dalam penegakan hukum sebagai proses sosial tidak bersifat tertutup, melainkan harus melibatkan lingkungannya.

Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan agar hukum dan pemberdayaan dapat ditegakkan yakni, kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Penegakan hukum sendiri dipegaruhi oleh beberapa faktor yakni, Pertama Hukumnya sendiri, secara sosiologi, suatu peraturan hukum harus yang berlau harus diakui dan diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut dirujukan. Kedua, Penegak Hukum, artinya pihak-pihak terkait dalam proses penegakkan hukum. Ketiga, sarana dan fasilitas. Keempat, Masyarakat sebagai tempat berlakunya dan diterapkannya hukum. Kelima, kebudayaan mencakup nilai-nilai hukum yang berlaku.

Apabila kita mencermati teori penegakkan hukum diatas, maka penyebab implementasi dan pemberdayaan hukum yang tidak bisa ditegakkan terhadap anak jalanan di Pangkalpinang karena salah satu faktor masyarakat, yakni masyarakat masih belum manyadari akan pentingnya perlindungan anak dan kebudayaan masyarakat Pangkalpinang yang mudah memberikan sedekah uang. Yang dimana kegiatan berbuat baik tidak selalu berdampak positif, sebab ada kebaikan yang bisa menimbulkan masalah, karena membuat anak jalanan menjadi terus ketagihan dengan kegiatannya yang begitu mudah.

Menyikapi fenomena ini, maka diperlukan sosialisasi kepada masyarakat luas bahwa ada undang undang terkait penanggulangan dan perlindungan anak karena ketidaktahuan masyarakat. oleh karena itu, hal ini menjadi penting memberikan kesadaran kepada masyarakat dalam upaya penegakkan hukum yang optimal.

Leave A Reply

Your email address will not be published.