PANGKALPINANG – Mantan Sekretaris PWI Provinsi Bangka Belitung, Agus Hendrayadi yang melaporkan dugaan tindak pidana pemalsuan tandatangan ke Polda Babel akhirnya angkat bicara terkait tudingan dan tuduhan dirinya tidak aktif dalam organisasi sebagaimana ramai diberitakan media-media online tiga hari terakhir.
Dalam keterangan tertulisnya, Agus mengatakan sebenarnya tidak ingin berpolemik di media terkait laporannya. Namun sejumlah pihak terlihat panik kemudian kalap seolah “menyerangnya” dalam pemberitaan.
“Sebenarnya saya tidak tertarik berpolemik di media terkait laporan saya ke polisi. Yang saya laporkan juga masalah pribadi, karena ada kerugian pribadi secara moril berkaitan dengan hak saya makanya saya melapor untuk mencari keadilan, bukan mencari pembenaran. Persoalan pribadinya adalah antara saya dan terlapor, bukan dengan orang lain, terlepas siapa yang menyuruh terlapor melakukan kesalahan itu. Karena itu saya harap para pihak tidak perlu panik, mari ikuti saja proses hukumnya,” kata Agus, Kamis, (21/4/2022).
Menurutnya, kalaupun secara organisasi tindakan yang salah berani menandatangani di nama orang lain itu dianggap dibenarkan meski tanpa izin, namun secara hukum formil tindakan tersebut melanggar hak dan merupakan tindak pidana karena merugikan pribadi orang lain.
Mengenai tuduhan terhadap dirinya tidak aktif berorganisasi, Agus menegaskan hal itu berpotensi fitnah. Sebab, ia memiliki banyak bukti dan saksi terkait keaktifannya berorganisasi. Sehingga alasan pembenar yang disampaikan pihak-pihak yang menyudutkannya justru tengah dipertimbangkan untuk diproses lebih lanjut.
“Ketika saya dimintai tanggapan untuk konfirmasi berita agar berimbang tentang tuduhan saya tidak aktif berorganisasi sehingga menjadi alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana, saya cukup mengatakan ada bukti dan banyak jejak digital yang masih bisa teman-teman lihat. Banyak juga saksi yang melihat saya hadir dan memimpin rapat pembentukan panitia konferensi tingkat provinsi sebelum dugaan tindak pidana terjadi, bahkan tersebar digrup internal foto dan beritanya. Saya juga ada di sekretariat ketika warga datang menyusul mengambil beras dalam pembagian beras aksi peduli. Ada juga saya yang hendak tandatangan berkas tapi pemegang berkasnya ada mens rea (niat jahat) dengan menghilang padahal sudah janji mau tandatangan berkas-berkas permohonan KTA,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Agus, ia juga menghadiri konferkab Bangka Tengah, lalu di Kabupaten Bangka, membuat surat permohonan perpanjangan masa kepengurusan ke pusat karena habisnya masa kepengurusan, dan itu belum lama masih hitungan bulan.
“Bahkan yang menutup konferkab di Kabupaten Bangka juga saya dan menyerahkan pataka kepada ketua PWI terpilih disaat pengurus lainnya menghilang ketika jagoannya kalah. Pelantikan di Kabupaten Bangka juga saya hadir menemani bupati. Jejak digital itu masih tersebar di internet. Jadi tuduhan saya tidak aktif itu sebenarnya fitnah, dan sudah saya konsultasikan dengan pengacara saya apakah perlu diambil tindakan hukum atas fitnah-fitnah itu yang bahkan dilakukan dalam informasi elektronik,” tegasnya.
Mengenai SK kepengurusan Kabupaten Bangka Barat yang enggan ditandatanganinya, Agus mengungkapkan hal itu sebenarnya membuka borok si pembuat pernyataan.
“Ini sebenarnya teman-teman menggaruk koreng sendiri dan memalukan organisasi. Mengapa SK Bangka Barat tidak saya tandatangani, karena konferkab itu cacat hukum dan cacat secara organisasi. Bagaimana bisa melakukan konferkab dan memilih ketua tanpa ada sidang komisi-komisi? Konferkab itu melanggar PD/PRT juga ketika ketua terpilih belum cukup umur untuk dipilih, jelas dilanggar semua itu. Lalu Program apa yang hendak dilakukan ketua terpilih setelah konferkab kalau sidang-sidang komisinya tidak ada dan tidak menghasilkan program? Saya ini berorganisasi sudah puluhan tahun jadi tau benar bahwa ketua terpilih dalam memimpin organisasi menjalankan program kerja berdasarkan hasil dari sidang-sidang komisi. Nah ini tidak ada sidang komisi, langsung pemilihan aklamasi, sangat jelas di PD/PRT bagaimana tahapan dan syarat pelaksanaan konferensi,” bebernya.
Tidak hanya itu, ketua terpilih maupun pihak lain tersebut menurutnya tidak faham berorganisasi dan meminta diterbitkan SK tanpa mau tau apa saja syarat yang harus dipenuhi.
“Organisasi dianggap seperti pemilihan ketua kelas di sekolah saja, tiba-tiba minta SK setelah terpilih dengan aklamasi dalam tanda kutip dan ditanya mana berita acara hasil konferensi untuk diterbitkan SK jawabnya tidak ada dan tidak tau cara membuatnya. Yang dikirim cuma daftar hadir. Pemilihan ketua RT saja ada berita acaranya. Setelah kabupaten lain konferensi, baru minta contoh berita acara ke kabupaten lain dan barulah berita acara hasil konferensinya ada dan dikirimkan. Setahun saya menunggu berita acara itu,” papar Agus.
Dosen dan praktisi hukum ini juga mengungkapkan, tidak bertanggungjawab nya oknum pengurus provinsi yang mendapat tugas untuk mewakili provinsi dalam Konferkab di Kabupaten Bangka.
“Konferensi di Kabupaten Bangka itu, ketika jagoannya kalah dalam penghitungan suara pantaskah pengurus provinsinya yang diutus bertugas saat itu kabur meninggalkan acara di Batu Bedaun? Untung saya datang kemudian menyerahkan pataka kepada ketua terpilih dan menutup acara konferensi. Banyak saksi dan bukti tentang hal itu semua, hanya saja sebagian dari mereka diam menyembunyikan kebenaran itu dan terseret dalam pusaran kebatinan. Jadi yang tidak mengerti berorganisasi itu siapa? Yang menghambat organisasi itu siapa? Justru saya menjaga marwah organisasi dan tidak mau organisasi disusupi mantan pengurus organisasi terlarang,” ucapnya.
Agus mengaku sudah berusaha menggalang persatuan antar para anggota PWI yang dibelah dengan mengkotak-kotakan. Namun akhirnya tidak sedikit anggota yang kemudian mengundurkan diri dan bergabung ke organisasi lain yang lebih fair karena seolah tidak dianggap dalam organisasi.
“Memimpin organisasi dengan gaya like and dislike dilakukan, saya tidak setuju, hasilnya itu satu persatu anggota pindah bergabung ke organisasi lain. Dan ketika mau konferensi malah wartawan yang mengaku senior justru ujug-ujug muncul mencari tempat dan simpati, sebelumnya 6 tahun terakhir kemana bung menghilang? Ketika dulu kalah bertarung malah meninggalkan organisasi dan tidak aktif,” sindirnya.
Mengenai pernyataan pemecatan dan pencabutan kompetensinya, Agus melanjutkan hal itu sah-sah saja disampaikan, termasuk jika ingin mengusulkannya.
“Namun harusnya dapat berkaca dulu lah, dilantik saja belum sudah mau mecat anggota. Katanya senior dua kali menjadi sekretaris masa sih tidak tau peraturan organisasi dan main tabrak-tabrak saja, padahal PD/PRT itu ada sebagai pijakan bukan asal cuap seperti orang kalap. Sebenarnya ini memalukan, namun saya tidak dianjurkan sahabat-sahabat saya untuk diam melihat serangan dan fitnah terhadap saya, ya sudah saya ladeni. Saya kebetulan lawyer ya, selain tengah mengumpulkan bukti-bukti ITE terkait fitnah terhadap saya, kemudian ada perudungan, juga tidak menutup kemungkinan saya akan ke Komnas HAM karena hak memilih dan hak dipilih saya sebagai warga negara telah dirampas dan dizholimi,” tandas Agus.
Ia menegaskan, klarifikasi dan konfirmasi yang diminta wartawan untuk perimbangan berita ini sengaja dirinya tidak menyebutkan nama satu pun orang.
“Karena saya menjunjung tinggi hukum dan taat hukum. Saya yakin penyidik di Polda Babel tidak terpengaruh dengan berita-berita alasan pembenar yang dilakukan para pihak, karena penyidik sudah terbiasa dan pandai menegakan hukum sesuai relnya. Bahkan ketika polemik berita muncul yang ada justru akan menuai masalah baru seperti tindak pidana ITE atau bentuk lainnya yang mengintai pelaku baru,” pungkas Agus.
Sementara itu, Dr. M. Adystia Sunggara, SH, MH, M.Kn selaku Penasihat Hukum Agus Hendrayadi mengatakan, para pihak harus dapat membedakan dan memisahkan persoalan kriminal dengan organisasi.
Ia mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang dilakukan kepolisian.
“Pisahkan soal kriminal dengan soal organisasi. Intinya dugaan pemalsuan tandatangan menimbulkan suatu hak keanggotaan PWI secara mekanisme. Mari kita hormati saja proses hukum,” kata Adystia. (**)